TOBAGOES.COM /PONTIANAK- , Pangaraga Adat Pontianak Selatan bersama unsur Ormas Bala Adat Dayak dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak menyampaikan klarifikasi terbuka terkait tuduhan “pemerasan dan premanisme adat” yang dilontarkan oleh pihak tertentu di media sosial, menyusul kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Wiliam terhadap saudara Pendi, warga keturunan Dayak asal Sompak.
Dalam konferensi pers, Pangaraga Adat Pontianak Selatan bersama unsur Ormas Bala Adat Dayak dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak yang digelar di wilayah Pontianak Selatan, para pemangku adat menegaskan bahwa seluruh proses yang dilakukan merupakan bagian dari mekanisme hukum adat Dayak Kanayatn.
Penyelesaian Pangaraga Adat Pontianak Selatan bersama unsur Ormas Bala Adat Dayak dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak mengedepankan pendekatan damai yang disebut Basaru Sumangat, bukan intimidasi atau pemaksaan sebagaimana dituduhkan.
Kejadian bermula pada 2 November 2024, saat Sdr. Pendi mengalami kekerasan fisik dan verbal di halaman rumahnya oleh Wiliam dan beberapa anggota keluarganya. Dalam insiden tersebut, terjadi tindakan kekerasan seperti pelemparan helm ke arah kepala korban, pelompatan pagar rumah, pemukulan, serta pencekikan.
“Kami memiliki bukti rekaman video serta saksi yang menyaksikan langsung. Bahkan istri korban turut dihina dengan kata-kata yang tidak pantas, jelas itu telah melecehkan martabat,” ungkap Lukian, Pendamping Pangaraga Adat.
Upaya mediasi secara adat dimulai sejak 5 November 2024, namun tidak digubris oleh pihak Wiliam. Bahkan pada 15 Juni 2025, ketika sanksi adat Setahil Tangah Babi Satu Ekor disampaikan, pihak Wiliam justru meremehkan prosesi dengan mengatakan bahwa persoalan bisa diselesaikan hanya dengan “ayam dan telur”, sebuah pernyataan yang dianggap melecehkan marwah adat.
KLARIFIKASI RESMI: TIDAK ADA UNSUR PEMERASAN
Melalui pernyataan tertulis, Pangaraga menegaskan bahwa seluruh proses dilaksanakan secara transparan, tanpa paksaan, dan disaksikan tokoh adat serta masyarakat.
“Tidak ada satu pun unsur pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 atau 369 KUHP. Kami menjalankan hukum adat yang dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 18B UUD 1945,” tegas Ulianus, tokoh adat senior.
Pihak adat menilai tuduhan “premanisme adat” sebagai narasi sesat dan provokatif yang berbahaya, karena dapat merusak kepercayaan terhadap sistem hukum adat yang diakui dalam sistem hukum nasional.
HUKUM ADAT BUKAN UNTUK DIPOLITISASI
Pangaraga menyayangkan keterlibatan pihak-pihak luar yang turut menyebarkan fitnah dan informasi tidak benar melalui media sosial. Mereka menyatakan siap menempuh jalur hukum atas dugaan pencemaran nama baik terhadap lembaga adat.
“Kami tidak akan membalas kebencian dengan kebencian. Tapi sebagai penjaga warisan budaya, kami punya kewajiban menjaga kehormatan dan martabat lembaga adat,” tutur Rusli, anggota Pangaraga.
Pihak Pangaraga juga menegaskan bahwa Sdr. Pendi adalah bagian sah dari komunitas adat melalui garis keturunan istrinya yang berasal dari Sompak, dan anaknya, Jimi, turut merasakan luka atas penghinaan terhadap keluarga mereka.
SERUAN UNTUK DAMAI DAN PENGHORMATAN TERHADAP ADAT
Di penghujung pernyataan, Pangaraga menyerukan kepada masyarakat luas untuk tidak terpancing oleh informasi sepihak dan terus menjaga suasana damai serta kepercayaan terhadap mekanisme penyelesaian adat.
“Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata adalah nilai luhur hidup kami. Proses adat bukanlah pemerasan, melainkan jalan menuju keadilan yang bermartabat,” tutup Lilik Nage, salah satu tokoh adat yang hadir.
Sumber: Pangaraga Adat Pontianak Selatan bersama unsur Ormas Bala Adat Dayak dan Dewan Adat Dayak (DAD) didampingi Kuasa Hukum.