TOBAGOES.COM – Ekonomi kurban di Indonesia pada tahun 2025 mengalami lesu yang cukup signifikan. Momentum ibadah tahunan yang biasanya menjadi motor penggerak sektor peternakan dan konsumsi rumah tangga kini menghadapi tantangan besar akibat perlambatan ekonomi nasional dan tekanan daya beli masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia lesu hanya mencatatkan angka 4,87% pada kuartal pertama 2025 terendah dalam tiga tahun terakhir. Kondisi ini diperburuk oleh deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025 yang mencerminkan melemahnya konsumsi rumah tangga, termasuk untuk pengeluaran kurban
Harga Hewan Kurban Naik, Daya Beli Menurun
Harga hewan kurban mengalami lonjakan, misalnya kambing yang biasanya dijual sekitar Rp 3 juta kini naik menjadi Rp 3,3 hingga Rp 3,5 juta.
Kenaikan ini menjadi beban tambahan bagi masyarakat, khususnya di tengah lesu kondisi ekonomi. Banyak keluarga yang sebelumnya rutin berkurban terpaksa menunda atau bahkan membatalkan niatnya tahun ini.
Di sisi lain, tren arisan kurban khususnya untuk sapi semakin populer. Masyarakat memilih bergotong royong untuk membeli satu ekor sapi sebagai alternatif yang lebih terjangkau, namun tren ini berdampak pada penurunan permintaan terhadap kambing dan domba yang umumnya dibeli secara individu.
PHK Massal dan Dampaknya terhadap Jumlah Pekurban
Sejak 2024 hingga pertengahan 2025, sektor industri manufaktur padat karya mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Lebih dari 100 ribu pekerja kehilangan pekerjaan, mengakibatkan peningkatan angka pengangguran dan penurunan kemampuan masyarakat untuk berkurban.
Contohnya, di Kebumen, Jawa Tengah, penjualan kambing dilaporkan turun hingga 40% dibandingkan tahun sebelumnya.
Data Terbaru: Jumlah Pekurban dan Nilai Ekonomi Turun
Laporan dari lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mencatat jumlah pekurban turun dari 2,16 juta orang pada 2024 menjadi sekitar 1,92 juta pada 2025. Nilai ekonomi kurban pun anjlok dari Rp 28,3 triliun menjadi Rp 27,1 triliun—bahkan lebih rendah dibandingkan periode pandemi COVID-19.
Kebijakan Pemerintah Belum Berdampak Signifikan
Pengalihan anggaran pemerintah dari proyek infrastruktur ke program makan gratis senilai USD 2,8 miliar per tahun turut mengurangi stimulus ekonomi yang seharusnya mampu mendorong daya beli masyarakat.
Sementara itu, paket stimulus sebesar Rp 24,44 triliun yang digelontorkan pemerintah untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga belum menunjukkan dampak nyata terhadap pemulihan ekonomi kurban.
Para pelaku usaha dan peternak berharap pemerintah segera merespons dengan kebijakan tambahan yang lebih konkret dan tepat sasaran guna menyelamatkan sektor ekonomi kurban dari keterpurukan yang lebih dalam.
Dampak Sosial: Solidaritas Naik, Tapi Ketimpangan Terasa
Meskipun lesunya ekonomi kurban membawa penurunan dalam angka transaksi, beberapa wilayah justru menunjukkan peningkatan solidaritas sosial.
Di banyak desa dan lingkungan urban, warga bergotong royong membentuk kelompok arisan kurban atau kolektif donasi untuk tetap bisa berpartisipasi dalam ibadah kurban, meskipun secara perorangan tidak mampu.
Namun, di sisi lain, ketimpangan sosial juga makin terasa. Beberapa kalangan kelas menengah atas tetap mampu membeli hewan kurban dalam jumlah besar, menciptakan kontras mencolok dengan kelompok rentan yang tahun ini harus absen dari tradisi tersebut.
Hal ini memunculkan kekhawatiran akan menurunnya rasa keadilan dalam praktik ibadah yang seharusnya merata dan menyatukan.
Pelaku Usaha dan Peternak Terpukul
Para peternak hewan kurban, khususnya skala kecil dan menengah, menjadi salah satu pihak paling terdampak. Di banyak sentra peternakan seperti Jawa Timur, NTB, dan Jawa Tengah, penurunan permintaan membuat harga jual stagnan bahkan menurun di tingkat peternak, sementara biaya pakan dan logistik tetap tinggi.
“Biasanya seminggu sebelum Idul Adha kami bisa jual 30–40 ekor, sekarang baru laku 10,” ujar Andi, seorang peternak kambing dari Lamongan. Beberapa peternak bahkan terpaksa menjual dengan harga rugi atau menunda pengiriman ke pasar demi menekan kerugian.
Kritik terhadap Arah Kebijakan
Sejumlah pengamat ekonomi dan tokoh masyarakat mulai mengkritisi arah kebijakan fiskal pemerintah. Fokus terhadap program konsumtif seperti makan gratis dianggap belum memberi efek pengganda (multiplier effect) yang cukup kuat, terutama dalam mendorong pemulihan sektor informal dan agrikultural.
“Dibutuhkan kebijakan yang lebih berorientasi pada pemberdayaan, bukan sekadar bantuan konsumtif,” ujar Faisal Basri, ekonom senior, dalam diskusi publik akhir Mei lalu.
Ia menekankan pentingnya dukungan langsung kepada peternak, insentif pajak untuk pengusaha kurban, dan subsidi logistik untuk distribusi hewan.
Harapan dan Langkah Ke Depan
Menjelang Idul adha, para pelaku usaha berharap pemerintah daerah dapat mengambil peran lebih aktif, misalnya dengan program pembelian hewan kurban dari peternak lokal untuk dibagikan ke masyarakat miskin.
Inisiatif semacam ini pernah sukses dilakukan di masa pandemi, dan terbukti mampu menstabilkan pasar sekaligus membantu warga kurang mampu.
Beberapa lembaga sosial juga mulai mendorong kampanye “Kurban untuk Pemulihan” yang mengajak masyarakat kelas menengah atas untuk menyumbang atau membayar kurban lewat lembaga tepercaya, guna mendistribusikan hewan ke wilayah-wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi.