Kendari, toBagoes.com – Setelah lulus pendidikan setiap pagi, Dela (23) mengenakan baju rapi dan duduk di depan laptop, bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengirim lamaran kerja secara online.
Lulusan cumlaude dari sebuah universitas negeri di Sulawesi Tenggara itu telah mengirim lebih dari 80 lamaran dalam enam bulan terakhir. Hasilnya? Hanya dua panggilan wawancara, tanpa kejelasan tindak lanjut.
“Ayah selalu bilang, kalau mau hidup layak, sekolah harus rajin. Tapi kenyataannya, ijazah saya sekarang cuma jadi hiasan di map plastik,” keluh Dela.
Dela bukan satu-satunya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada lulusan perguruan tinggi pada Februari 2025 masih berada di angka 5,8 persen lebih tinggi dibanding lulusan SMA dan SMP.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa semakin tinggi jenjang pendidikan, justru semakin besar risiko menganggur
Ketidaksesuaian antara Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja
Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Dr. Muhlis Aswar, menyebutkan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih berkutat pada penguasaan teori, bukan keterampilan praktis yang dibutuhkan pasar.
“Banyak lulusan tidak dibekali kompetensi yang relevan dengan industri, apalagi kemampuan adaptif seperti problem solving dan digital skill,” ujarnya.
Sementara itu, dunia industri kerap mengeluhkan rendahnya kesiapan kerja para lulusan baru.
“Kami mencari orang yang siap kerja, bukan sekadar hafal teori,” ujar Rina, HRD dari perusahaan manufaktur di Gresik.
Lapangan Kerja Semakin Menyempit
Masalah makin pelik dengan menyusutnya ketersediaan lapangan kerja akibat otomasi dan efisiensi pasca pandemi. Banyak perusahaan memilih mengurangi tenaga kerja atau beralih ke pekerja kontrak dengan syarat ketat.
Di sisi lain, pertumbuhan UMKM yang diharapkan menyerap tenaga kerja belum mampu menyaingi laju pertambahan lulusan baru tiap tahun.
Perjuangan dan Harapan
Meski tertekan, banyak anak muda tetap bertahan. Mereka mengambil kerja serabutan, menjadi content creator, bahkan kembali ke desa membuka usaha kecil. Namun perjuangan ini lebih karena terpaksa daripada pilihan.
“Dulu saya ingin jadi guru. Sekarang jualan keripik singkong demi bantu orang tua,” ujar Wahyu (25), lulusan FKIP di Nusa Tenggara Barat.
Menuju Solusi?
Pemerintah mengklaim tengah mengembangkan link and match antara pendidikan dan industri melalui program Merdeka Belajar dan sertifikasi kompetensi. Namun di lapangan, implementasinya masih jauh dari merata.
“Perlu perombakan total, bukan tambal sulam. Pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia adaptif, bukan sekadar pencetak ijazah,” tutup Dr. Muhlis.
Ironi pendidikan ini harus menjadi alarm. Ketekunan tak seharusnya berujung kekecewaan.
Jika anak-anak rajin sekolah tak mendapat tempat di dunia kerja, lantas ke mana harapan masa depan bangsa ini akan dibawa?