Langkah Kriminalisasi Debitur oleh OJK Dinilai Langgar Hukum dan HAM

34
Penetapan Hamidi Salidin sebagai tersangka oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam perkara kredit macet dinilai sebagai bentuk kriminalisasi dan pelanggaran terhadap prinsip keadilan serta hak asasi manusia.
Penetapan Hamidi Salidin sebagai tersangka oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam perkara kredit macet dinilai sebagai bentuk kriminalisasi dan pelanggaran terhadap prinsip keadilan serta hak asasi manusia.
Pontianak, toBagoes.com – Penetapan Hamidi Salidin sebagai tersangka oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam perkara kredit macet dinilai sebagai bentuk kriminalisasi dan pelanggaran terhadap prinsip keadilan serta hak asasi manusia.

Hal ini disampaikan oleh praktisi hukum Sobirin, S.H., kepada awak media, pada Rabu (16/7/2025).

“Penetapan tersangka terhadap Hamidi Salidin tidak hanya melampaui batas kewenangan OJK sebagai pengawas jasa keuangan, tetapi juga mengabaikan asas legalitas, proporsionalitas, dan perlindungan HAM dalam sistem hukum nasional,” tegas Sobirin.

BACA JUGA  Skandal Bliss Massage di Kebon Jeruk: Izin & Pajak Kadaluarsa, Masih Bebas Beroperasi?

Kasus Perdata Dijadikan Pidana

Menurut Sobirin, kasus bermula dari kegagalan bayar kredit yang dialami Hamidi, seorang pengusaha lokal.

Kredit tersebut sebelumnya telah diproses sesuai prosedur tanpa unsur penipuan, suap, atau pemalsuan. Namun, OJK justru menetapkan Hamidi sebagai tersangka.

Padahal, Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan MK No. 31/PUU-XI/2014 mewajibkan adanya bukti permulaan yang cukup serta kejelasan unsur delik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

BACA JUGA  Plasma Tak Kunjung Dibangun, Pemkab Kubu Raya Masih Mediasi PT PAL dan Warga Sepok Laut

“Tidak ada dua alat bukti sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Ini murni wanprestasi, bukan tindak pidana. Tidak ada niat jahat (mens rea),” jelas Sobirin.

Restorative Justice Ditolak, Aset Ditampik

Hamidi, kata Sobirin, bahkan telah menyetor pembayaran sebesar Rp100 juta pada 23 Mei 2025 dan menyerahkan dua aset rumah senilai Rp300 juta untuk menutup kewajiban sebesar Rp83,5 juta.

BACA JUGA  Dentuman HIMARS Guncang Baturaja, TNI dan US Army Perkuat Kesiapan Tempur di Super Garuda Shield 2025

Ia juga mengajukan permohonan restorative justice (RJ) sesuai dengan POJK No. 16 Tahun 2023 dan PP No. 5 Tahun 2023.

Namun permintaan tersebut ditolak sepihak oleh OJK.

“Penolakan ini jelas bentuk penyalahgunaan kewenangan. Tidak sesuai dengan asas due process of law dan asas praduga tak bersalah,” tegas Sobirin.

Preseden Buruk bagi Dunia Usaha

Sobirin menyebut kriminalisasi wanprestasi akan menjadi preseden buruk bagi dunia usaha dan iklim investasi.

BACA JUGA  Media Tobagoes Diharapkan Jadi Garda Terdepan Dalam Informasi Hukum di Banten

“Putusan MA No. 809 K/Pid/1984 dan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa sengketa wanprestasi tidak boleh dijerat dengan hukum pidana. Jika ini terus dibiarkan, maka pelaku usaha akan ketakutan dan ekonomi akan lumpuh,” tambahnya.

Desakan Hukum dan Reformasi OJK

Sobirin mendesak agar status tersangka terhadap Hamidi dibatalkan. Ia juga menyerukan pertanggungjawaban OJK secara administratif dan kelembagaan.

Sejumlah langkah hukum yang disarankan antara lain:

– Gugatan praperadilan ke pengadilan negeri;

– Pengaduan ke Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi;

– Pelaporan ke Komnas HAM atas dugaan pelanggaran hak hukum.

BACA JUGA  Rahmad Sukendar: Komitmen Naikkan Anggaran Hakim Jangan Sekadar Omon-Omon

“Kasus ini bukan hanya soal Hamidi, tetapi soal wajah hukum kita. Jika penyelesaian perdata dikriminalisasi, maka hukum runtuh dan kepercayaan masyarakat terhadap negara akan terkikis,” pungkasnya.

Sumber: Sobirin, S.H. – Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Perbankan dan Perlindungan Konsumen.