TOBAGOES.COM – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, menegaskan bahwa tidak ada larangan eksplisit dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang melarang wakil menteri merangkap jabatan.
Menurutnya, bunyi putusan tidak menyebut larangan tersebut secara tegas, meskipun dalam pertimbangan hukum terdapat frasa yang mengarah ke sana.
“Yang jelas sampai hari ini, di putusan MK Nomor 80 Tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear. Di pertimbangan ada kata-kata yang seperti itu, tapi dalam putusan tidak ada,” ujar Hasan dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Hasan menyebut bahwa beberapa wakil menteri yang saat ini menjabat sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak melanggar aturan apapun, karena pelarangan tersebut tidak termasuk dalam amar putusan MK yang bersifat mengikat secara hukum.
“Beberapa pejabat yang saat ini rangkap jabatan tidak melanggar apapun, karena pelarangan itu bukan termasuk dalam amar putusan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa larangan rangkap jabatan hanya secara eksplisit berlaku untuk menteri dan pejabat setingkat kepala lembaga, sedangkan posisi wakil menteri tidak tercakup secara langsung dalam regulasi yang sama.
“Kalau anggota kabinet, kepala PCO, memang enggak boleh rangkap jabatan. Tapi hari ini, perkeputusan itu dibuat minggu lalu, tidak melanggar aturan apapun,” lanjut Hasan.
Gugatan Uji Materi dari Aktivis Hukum
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies, Juhaidy Rizaldy Roringkon, telah mengajukan uji materi terhadap Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi.
Ia meminta agar larangan rangkap jabatan juga diberlakukan terhadap wakil menteri, bukan hanya menteri.
Menurut Juhaidy, Pasal 23 UU Kementerian Negara hanya mengatur larangan rangkap jabatan bagi menteri, tanpa menyebut wakil menteri.
Padahal, dalam struktur pemerintahan, wakil menteri merupakan bagian dari unsur pimpinan kementerian yang tidak dapat dipisahkan secara fungsional dari menteri.
Pasal 23 UU Kementerian Negara berbunyi:
“Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”
Juhaidy menilai ketentuan itu menimbulkan ketidaksetaraan dan membuka celah konflik kepentingan, terutama karena setidaknya enam wakil menteri saat ini diketahui merangkap jabatan sebagai komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN.
Ia juga merujuk pada pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, yang menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya menteri.
Dari sini, menurut Juhaidy, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan wakil menteri sejajar secara fungsional, dan karenanya harus tunduk pada larangan yang sama.
Hak Konstitusional Warga
Menanggapi gugatan tersebut, Hasan Nasbi menyatakan bahwa pemerintah tidak dalam posisi melarang atau menghalangi. Ia menegaskan bahwa mengajukan uji materi merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam sistem hukum Indonesia.
“Kalau masyarakat mau menggugat, silakan. Itu hak konstitusi warga negara,” kata Hasan.