spot_img

UU Pemilu Direvisi, MK: Pemilu Daerah Harus Dipisah dari Pemilu Nasional

Jakarta, TOBAGOES.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Dalam amar putusan pemilu nasional dan pemilu daerah, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemilu daerah harus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pelantikan Presiden/Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD hasil pemilu nasional.

Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan tersebut pada Kamis (26/6/2025), yang menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali dimaknai bahwa pemilihan kepala daerah dan DPRD dilakukan dalam rentang waktu khusus setelah pemilu nasional.

BACA JUGA  Ada Oknum Mafia Hutan di Lampung, Rahmad Sukendar: Kejagung Harus Tindak Tegas Oknumnya.!

Putusan ini merupakan jawaban atas permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang menilai bahwa pelaksanaan pemilu serentak lima kotak dalam satu waktu melemahkan pelembagaan partai politik dan menghambat proses kaderisasi.

Perludem Gugat Pemilu Serentak, MK Kabulkan Pemisahan Jadwal Pemilu Nasional dan Daerah

Gugatan terhadap pelaksanaan pemilu serentak diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menguji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.

Inti permohonan tersebut adalah meminta agar pemilu nasional dan pemilu daerah dipisah, dengan selisih waktu minimal dua tahun.

BACA JUGA  BPI KPNPA RI Apresiasi Kejati Kepri Ungkap Proyek Studio Rp10 M, Desak Tuntaskan Skandal Bonsai Lingga

Menurut Perludem, pelaksanaan pemilu serentak lima kotak yang mencakup Pemilu Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota membebani partai politik secara organisasi dan strategi.

Hal ini, kata mereka, telah berdampak serius terhadap pemenuhan asas penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang menjamin prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pengacara pemohon, Fadli Ramadhanil, menyampaikan bahwa dengan jadwal yang terlalu padat, partai politik kehilangan ruang dan waktu yang memadai untuk melakukan proses kaderisasi dan seleksi calon legislatif secara demokratis.

BACA JUGA  PSKBI Tantang Pemerintah Konsisten Tindak Premanisme Berkedok Ormas

Akibatnya, proses pencalonan diwarnai oleh dominasi pemilik modal dan tokoh populer, sementara mekanisme pengaderan internal partai cenderung diabaikan.

“Partai menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg populer, dan punya materi banyak, dicalonkan secara transaksional dan taktis. Partai tidak lagi punya kesempatan dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam pencalonan di semua level secara bersamaan,” ujar Fadli saat membacakan permohonan di Gedung MK, Jumat (4/11/2024).

Dalam permohonannya, Perludem mengusulkan pemisahan dua jenis pemilu:

– Pemilu nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, dan DPD.

– Pemilu daerah untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD.

BACA JUGA  Rahmad Sukendar Desak Pemerintah Tindak Tegas Kasus Minyakita: "Jangan Hanya Tangkap Pelaku Kecil!"

Perludem juga meminta agar kedua pemilu itu diselenggarakan dengan selisih waktu dua tahun, agar beban penyelenggara, partai, dan pemilih tidak menumpuk dalam satu waktu.

Gugatan ini akhirnya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, dengan menetapkan bahwa pelaksanaan pemilu daerah harus dilakukan paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden/wakil presiden atau anggota DPR/DPD hasil pemilu nasional.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest news

Related news