Jakarta, TOBAGOES.COM – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian resmi menandatangani Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang menetapkan empat pulau sengketa kembali menjadi bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh.
Kepmendagri Nomor 300.2.2-2430 Tahun 2025 tersebut merupakan perubahan atas Kepmendagri sebelumnya, yakni Nomor 300.2.2-2138.
Keputusan ini mengesahkan serta memperbarui data wilayah administratif, termasuk kembalinya Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (besar), dan Pulau Mangkir Ketek (kecil) ke dalam wilayah Provinsi Aceh.
“Telah diterbitkan Kepmendagri untuk mengesahkan dan menempatkan kembali empat pulau ke Aceh,” ujar Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA, dalam sebuah pernyataan video yang diterima di Banda Aceh, Selasa (24/6/2025).
Safrizal, yang juga merupakan putra asli Aceh, menyambut baik keputusan tersebut dan berharap keempat pulau itu dapat dikelola secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian resmi menandatangani Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang menetapkan empat pulau sengketa kembali menjadi bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh.
“Semoga, empat pulau ini nantinya dapat dibangun dan dibina sehingga bermanfaat bagi masyarakat,” katanya.
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto telah menetapkan keempat pulau yang sebelumnya disengketakan antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara tersebut kembali menjadi bagian Aceh.
Penetapan ini berdasarkan bukti kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang dibuat pada tahun 1992.
Sebagai tindak lanjut, penandatanganan kesepakatan ulang juga telah dilakukan oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, yang menegaskan bahwa empat pulau tersebut sah secara administratif sebagai bagian dari wilayah Aceh.
Dukungan Masyarakat dan Potensi Ekonomi
Kembalinya empat pulau tersebut ke dalam wilayah Aceh juga disambut baik oleh masyarakat, khususnya di kawasan pesisir Aceh Tamiang dan Aceh Singkil yang selama ini merasa kehilangan hak atas wilayah laut mereka.
Beberapa tokoh adat dan nelayan setempat menyatakan rasa syukur dan berharap agar pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk mengembangkan potensi maritim di kawasan pulau-pulau tersebut.
“Ini bukan sekadar soal batas wilayah, tapi soal harga diri dan hak atas sumber daya alam. Kami bersyukur akhirnya keadilan berpihak,” ujar Ismail, seorang tokoh nelayan di Aceh Tamiang.
Secara geografis, keempat pulau tersebut memiliki nilai strategis tinggi, baik dari sisi pertahanan maupun potensi ekonomi seperti perikanan, pariwisata bahari, dan konservasi alam.
Pemerintah Aceh diharapkan segera menyusun rencana tata kelola terpadu demi memastikan keberlanjutan dan kebermanfaatan pulau-pulau tersebut.
Tegaskan Kepastian Hukum dan Administrasi
Kepmendagri ini sekaligus memperkuat kepastian hukum terhadap batas wilayah yang selama ini menjadi sumber perdebatan antara dua provinsi.
Safrizal ZA menegaskan bahwa langkah ini penting untuk menghindari potensi konflik kewenangan, tumpang tindih anggaran, maupun persoalan pelayanan publik.
“Setiap pulau di Indonesia harus memiliki kejelasan administrasi agar pembangunan bisa berjalan efektif dan tidak terjadi dualisme kewenangan,” tegasnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian resmi menandatangani Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang menetapkan empat pulau sengketa kembali menjadi bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh.

Dengan keputusan ini, diharapkan tidak hanya menuntaskan sengketa lama, tetapi juga membuka peluang baru bagi pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau terluar Aceh dalam kerangka NKRI.
Kilasan Konflik Batas Wilayah: Dari 1992 hingga 2025
Sengketa atas empat pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara bukanlah persoalan baru. Konflik batas wilayah ini sudah berlangsung selama lebih dari tiga dekade, berawal dari pemekaran wilayah serta perubahan data administrasi yang tidak konsisten di tingkat pusat.
Pada tahun 1992, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara saat itu telah menandatangani kesepakatan bersama yang menegaskan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek berada dalam wilayah Aceh.
Namun dalam praktiknya, keempat pulau tersebut sempat tercatat di dalam data administrasi Sumatera Utara akibat pemutakhiran data wilayah yang tidak mengacu pada dokumen kesepakatan tersebut.
Hal ini memicu kebingungan di lapangan, termasuk dalam hal pengelolaan anggaran, pelayanan publik, hingga hak kepemilikan lahan. Ketegangan sempat memuncak ketika warga lokal di kedua provinsi mengklaim hak atas wilayah laut di sekitar pulau-pulau tersebut.
Persoalan ini pun mencuat kembali ke permukaan pada 2023–2024 saat dilakukan audit dan validasi ulang data wilayah oleh Kemendagri, yang kemudian menjadi dasar revisi dan penerbitan Kepmendagri terbaru tahun 2025.
Arahan Presiden dan Jalan Tengah Antarprovinsi
Presiden Prabowo Subianto, melalui forum koordinasi tingkat nasional, mendorong penyelesaian secara damai dan administratif berdasarkan dokumen resmi negara. Presiden juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan persatuan antarwilayah.
Merespons arahan tersebut, Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution akhirnya menandatangani kesepakatan ulang pada awal Juni 2025 sebagai bentuk komitmen politik dan administratif yang sah.
Kesepakatan ini kemudian dijadikan dasar oleh Kemendagri untuk menerbitkan keputusan resmi.
[…] Kepmendagri Resmi Tetapkan 4 Pulau Bagian dari Aceh […]
[…] Kepmendagri Resmi Tetapkan 4 Pulau Bagian dari Aceh […]