Penolakan terhadap Ormas GRIB Jaya di Provinsi Bali kini bermunculan. Hal itu dinilai sebagai reaksi muaknya masyarakat dengan aksi premanisme yang berbaju ormas.
Padahal ormas GRIB Jaya bentukan Hercules Rosario ini telah membentuk kepengurusan di sejumlah kabupaten di Provinsi Bali. Bahkan dalam setiap unggahannya yang beredar di media sosial, ormas GRIB Jaya mengeklaim siap menjaga keamanan di Bali.
Dalam video yang diunggah anggota DPD RI dapil Bali, Ni Luh Djelantik, Minggu (4/5), seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai Panglima Satgas GRIB menyatakan ormasnya telah hadir di Bali.
“Visi misi bikin ormas GRIB Jaya di Bali apa ya?
Apakah menjaga keamanan, membuat keseharian warga Bali aman dan nyaman?
Bisa Mbok tahu pengabdian ormas ini untuk Bali dan masyarakat Bali?” tulis Ni Luh Djelantik di akun media sosial pribadinya.
Menurut Ni Luh Djelantik, Bali sudah memiliki ribuan pecalang.
Jika pemerintah konsisten memperjuangkan hak pecalang, termasuk menetapkan anggaran untuk operasional mereka, Bali tentu aman.
“Kepada Ketua GRIB dan jajarannya, kita hidup bersama-sama di Bali. Di mana bumi dipijak di sana langit di junjung. Mohon kepada pemegang kebijakan, pemerintah untuk mengklarifikasi terkait pendirian ormas ini,” tulisnya lagi.
Pendirian ormas GRIB di Bali juga mendapat penolakan dari pecalang.
Ketua Pecalang Desa Adat Sulanyah, Seririt, Buleleng, Wayan Darmaya dalam surat terbuka yang ditunjukkan kepada gubernur, Bendesa Agung MDA Bali dan Manggala Agung Pasikian Pecalang Bali, menolak ormas luar di Pulau Dewata.
Wayan Darmaya justru memohon pemerintah untuk memperkuat kelembagaan Pasikian Pecalang Bali dengan alokasi anggaran yang wajar.
“Pecalang sudah mampu menjaga stabilitas keamanan wilayah karena sudah sesuai dengan fungsi dan perannya menjaga keamanan wewidangan di Bali,” ujar Wayan Darmaya dalam unggahannya di akun media sosial Ni Luh Djelantik.
Gubernur Bali Tolak GRIB Jaya
Gubernur Bali I Wayan Koster menegaskan Bali tidak membutuhkan Organisasi Masyarakat (Ormas) GRIB Jaya. Ini menyusul beredarnya video organisasi masyarakat (Ormas) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (Grib) pimpinan Hercules Rosario de Marshal, dan NTT Bersatu Bali mendeklarasikan diri.
“Bali tidak membutuhkan ORMAS macam ini,” ujar Wayan Koster, Minggu, 4 Mei 2025.
Menurut Koster, kehadiran Ormas di Bali tidak ada manfaatnya untuk pariwisata, karena itu ormas semacam itu tidak boleh ada di Bali. “Apa manfaatnya,” katanya.
Ketika Gubernur Wayan Koster menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, gelombang suara sumbang langsung bermunculan.
Isu bermunculan, mulai dari tudingan politisasi desa adat, kekhawatiran akan eksklusivitas, hingga ketakutan bahwa Bali akan menjadi tertutup bagi pihak luar. Namun, waktu membuktikan bahwa regulasi ini adalah langkah antisipatif yang sangat visioner. Perda ini tidak sekadar mengatur struktur dan kelembagaan desa adat.
Ia juga secara tegas memperkuat peran Pecalang sebagai aparat keamanan berbasis kearifan lokal. Dalam Pasal 11 ayat (1) huruf h, disebutkan secara eksplisit bahwa Desa Adat memiliki kewenangan menyelenggarakan ketertiban masyarakat melalui satuan pengamanan adat yaitu Pecalang.
Ini berarti, Pecalang kini memiliki pijakan hukum yang kuat untuk berperan aktif menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah adatnya, tanpa harus tunduk pada tekanan Ormas luar yang kerap membawa konflik horizontal.
Alih-alih membiarkan Bali jadi ajang eksperimen ormas luar yang belum tentu memahami nilai-nilai lokal, Koster mengunci pintu dari dalam, memperkuat desa adat, memberi ruang dan legitimasi penuh bagi Pecalang, serta mengembalikan sistem keamanan ke tangan masyarakat Bali sendiri.
Kini, Bali punya mekanisme pertahanan sosial yang tidak bergantung pada kekuatan luar. Pecalang yang dulunya hanya simbol adat saat upacara, kini menjadi garda depan keamanan berbasis budaya. Semua itu tidak akan terjadi tanpa adanya Perda yang visioner dan berani.
Sementara itu, Dewan Penasehat Flobamora Bali, Agus Dei Segu dengan tegas menyatakan kehadiran Ormas tersebut secara administrasi tidak berada di bawah payung rumah besar Flobamora Bali.
“Bisa jadi mereka hadir per orangan saja. Sebab di Flobamora Bali, tidak begitu kenal dengan person-person terkait,” ujarnya.